by: fabiocanasaro
SOCRATES
A. PENDAHULUAN
Dalam sejarah filsafat Socrates merupakan
tokoh yang fenomenal. Dia merupakan salah satu dari dari tiga filsuf yang
terkenal pada zamannya. Socrates memiliki cara sendiri untuk membuktikan
kebenaran pendapat ataupun ,pemikirannya, bahkan dia tidak malu untuk
berpura-pura menjadi orang yang bodoh bahkan gila. Dalam perjalanan mencari
kebenarannya dia lebih suka pergi kepasar, alun-alun atau ketempat keramaian
lainnya.
Socrates sering disamakan seperti Yesus,
yaitu bahwa tidak ada peradilan manapun, kecuali yang dilaksanakan atas Yesus,
meninggalkan kesan begitu kuat didalam imajinasi orang Barat seperti peradilan
Socrates. Dua kejadian tersebut memiliki banyak kesamaan. Tidak ada catatan
sezaman yang berdiri sendiri tentang keduanya, tidak ada juga penelitsian-penelitian
yang dilakukan. Ada juga yang menyatakan bahwa mencari sejarah Socrates seperti
juga mencari sejarahnya Yesus yang terus masih berlangsung sehingga
menghasilkan lebih banyak literatur, banyaknya spekulasi, dan kontroversi.
Adapun salah satu peninggalan pemikiran dari Socrates
yang paling penting ada pada cara dia berfilsafat dengan mengejar satu definisi
absolut atas satu permasalahan melalui satu dialektika. Pengejaran pengetahuan hakiki melalui penalaran
dialektis menjadi pembuka jalan bagi para filsuf selanjutnya. Perubahan fokus filsafat dari memikirkan
alam menjadi manusia juga dikatakan sebagai jasa dari Sokrates. Manusia menjadi objek filsafat yang penting setelah sebelumnya
dilupakan oleh para pemikir hakikat alam semesta. Pemikiran
tentang manusia ini menjadi landasan bagi perkembangan filsafat etika dan
epistemologis di kemudian hari.
B. ISI
1. Biografi Socrates
Socrates (470-399 SM) adalah tokoh paling penuh teka-teki dalam seluruh
sejarah filsafat. Dia tidak pernah menulis sebaris kalimatpun. Namun dia salah
seorang filosof yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap pemikiran Eropa,
dan itu sama sekali bukan karena cara kematiannya yang dramatis.[1]
Socrates merupakan filsuf dari Athena, Yunani dan merupakan
salah satu figur paling penting dalam tradisi filosofis Barat. Socrates lahir
di Athena, dan merupakan generasi pertama dari tiga ahli filsafat besar dari
Yunani, yaitu Socrates, Plato dan Aristoteles. Socrates adalah guru Plato, dan Plato pada gilirannya
juga mengajar Aristoteles. Semasa hidupnya, Socrates tidak pernah meninggalkan
karya tulisan apapun sehingga sumber utama mengenai pemikiran Socrates berasal
dari tulisan muridnya, Plato.
Ayah Socrates merupakan seorang yang
berprofesi sebagai seorang pemahat patung dari batu (stone mason)
bernama Sophroniskos. Ibunya bernama Phainarete berprofesi sebagai seorang
bidan, dari sinilah Socrates menamakan metodenya berfilsafat dengan metode
kebidanan nantinya. Socrates beristri seorang perempuan bernama Xantippe dan
dikaruniai tiga orang anak.[2]
Socrates hidup
dari tahun 470 SM hingga 399 SM. Ia dilahirkan di Athena. Ayahnya adalah seorang pemahat bernama Sophroniscus dan ibunya seorang
bidan bernama Phaenarete. Setelah ayahnya meninggal dunia, Socrates
manggantikan ayahnya sebagai pemahat. Hingga akhirnya ia berhenti dari
pekerjaan itu dan bekerja dalam lapangan filsafat dengan dibelanjai oleh
seorang penduduk Athena yang kaya.[3] Masa Socrates bertepatan dengan masa kaum sofis. Walaupun begitu, dengan sekuat tenaga Socrates menentang ajaran para sofis.
Ia membela yang benar dan yang baik sebagai nilai objektif yang harus diterima
dan dijunjung tinggi oleh semua orang. Socrates merupakan contoh istimewa dan
selaku filosof yang jujur juga berani, berkepribadian yang sabar, rendah hati,
baik dan adil yang selalu menyatakan dirinya bodoh. Badannya tidak gagah
sebagai biasanya sebagai penduduk Athena. Meskipun dia orang yang berilmu, tapi
dia dalam memilih orang yang jadi istri bukan dari golongan orang baik-baik dan
pandai. Istrinya bernama
Xantipe yang terkenal
akan kejudesannya (galak
dan keras). Cara penyampaian ilmu atau filsafatnya dilakukan
secara tanya jawab, sehingga memperoleh banyak simpati.[4]
Masa-masa buruknya hubungan Athena dan Sparta
terjadi antara tahun 421 dan 416 SM. Salah seorang murid Socrates menyebabkan
Athena kalah di Syracuse 413 SM. Kubu Socrates semakin kuat, orang sofis sudah
semakin kehabisan pengikut. Ajaran bahwa
kebenaran itu relatif semakin
ditinggalkan, semakin tidak laku,
orang sofis kalap, lalu menuduh Socrates merusak mental
pemuda dan menolak Tuhan-Tuhan, hal ini terjadi pada tahun 399 SM. Walaupun
demikian, Kierkegaard yang merupakan Bapak Eksistensialisme Modren mengagumi
Socrates bahkan filsafat Socrates dijadikan model filsafatnya. Karena socrates
secara konstan menentang orang-orang sofis pada zaman itu.4
Untuk pembuktian hal itu Socrates diadili oleh
pengadilan Athena. Plato menulis sebuah pidato berjudul Apologia untuk membela
Socrates. Dan mengisahkan adanya tuduhan
bahwa Socrates tidak hanya menentang agama yang diakui oleh Negara, dan
mengajarkan agama baru buatannya sendiri. Melethus seorang pendakwa juga
mengatakan bahwa Socrates tidak bertuhan menambahkan bahwa Socrates mengatakan
matahari adalah batu dan bulan adalah tanah.[5]
Sehingga, Socrates dinyatakan bersalah dan dituntut hukuman mati dengan mayoritas 60
suara, 280 melawan 220 (281 melawan 220 menurut Hassan, 1973:74 dan 200
melawan 220 menurut Ahmad Syadali, 1997:67). Selama
socrates di dalam penjara ia masih dapat berbicara dengan sahabatnya. Kriton ialah sahabat socrates yang mengusulkan Socrates
melarikan diri, tetapi Socrates
menolak. Dan pada waktu senja
dengan tenang Socrates meminum racun, dikelilingi oleh para
sahabatnya. Sekalipun Socrates mati, ajarannya tersebar justru dengan cepat
karena kematiannya itu. Orang mulai mempercayai adanya kebenaran umum. Plato
membuat pidato berjudul phaidon, ia menceritakan percakapan Socrates dengan
dengan para muridnya pada hari terakhir
hidupnya, dan melukiskan
Socrates pada suatu senja dengan tenang meminum racun, dikelilingi oleh para sahabatnya.[6]
Secara historis, filsafat Socrates
mengandung pertanyaan karena Socrates sediri tidak pernah diketahui menuliskan
buah pikirannya. Apa yang dikenal sebagai pemikiran Socrates pada dasarnya
adalah berasal dari catatan oleh Plato, Xenophone (430-357) SM, dan siswa-siswa lainnya. Yang
paling terkenal diantaranya adalah penggambaran Socrates dalam dialog-dialog
yang ditulis oleh Plato. Dalam karya-karyanya, Plato selalu menggunakan nama
gurunya sebagai tokoh utama sehingga sangat sulit memisahkan gagasan Socrates
yang sesungguhnya dengan gagasan Plato yang disampaikan melalui mulut Sorates.
Nama Plato sendiri hanya muncul tiga kali dalam karya-karyanya sendiri yaitu
dua kali dalam Apologi dan sekali dalam Phaedrus. Socrates
dikenal sebagai seorang yang tidak tampan, berpakaian sederhana, tanpa alas
kaki dan berkelilingi mendatangi masyarakat Athena berdiskusi soal filsafat. Dia melakukan ini pada awalnya
didasari satu motif religius untuk membenarkan suara gaib yang didengar
seorang kawannya dari Oracle Delphi yang mengatakan bahwa tidak ada
orang yang lebih bijak dari Socrates. Merasa diri tidak bijak dia berkeliling
membuktikan kekeliruan suara tersebut, dia datangi satu demi satu orang-orang
yang dianggap bijak oleh masyarakat pada saat itu dan dia ajak
diskusi tentang berbagai masalah kebijaksanaan. Metode berfilsafatnya inilah
yang dia sebut sebagai metode kebidanan. Dia memakai analogi seorang bidan yang membantu kelahiran seorang bayi dengan caranya berfilsafat yang membantu
lahirnya pengetahuan melalui diskusi panjang dan mendalam. Dia selalu mengejar
definisi absolut tentang satu masalah kepada orang-orang yang dianggapnya bijak
tersebut meskipun kerap kali orang yang diberi pertanyaan gagal melahirkan
definisi tersebut. Pada akhirnya Socrates membenarkan suara gaib tersebut berdasar satu pengertian bahwa
dirinya adalah yang paling bijak karena dirinya tahu bahwa dia tidak bijaksana
sedangkan mereka yang merasa bijak pada dasarnya adalah tidak bijak karena
mereka tidak tahu kalau mereka tidak bijaksana.
Cara berfilsafatnya inilah yang
memunculkan rasa sakit hati terhadap Socrates karena setelah penyelidikan itu
maka akan tampak bahwa mereka yang dianggap bijak oleh masyarakat ternyata
tidak mengetahui apa yang sesungguhnya mereka duga mereka ketahui. Rasa sakit hati
inilah yang nantinya akan berujung pada kematian Socrates melalui peradilan
dengan tuduhan resmi merusak generasi muda, sebuah tuduhan yang sebenarnya
dengan gampang dipatahkan melalui pembelaannya sebagaimana tertulis dalam
Apologi karya Plato. Socrates pada akhirnya wafat pada usia tujuh puluh tahun
dengan cara meminum racun sebagaimana keputusan yang
diterimanya dari pengadilan dengan hasil voting 280 mendukung hukuman mati dan 220 menolaknya.
Socrates sebenarnya dapat lari
dari penjara, sebagaimana ditulis dalam Krito,
dengan bantuan para sahabatnya namun dia menolak atas dasar kepatuhannya pada
satu "kontrak" yang telah dia jalani dengan hukum di kota Athena.
Keberaniannya dalam menghadapi maut digambarkan dengan indah dalam Phaedo karya
Plato. Kematian Socrates dalam ketidakadilan peradilan menjadi salah satu
peristiwa peradilan paling bersejarah dalam masyarakat Barat di samping peradilan Yesus Kristus.
Peninggalan pemikiran Socrates yang paling penting ada
pada cara dia berfilsafat dengan mengejar satu definisi absolut atas satu
permasalahan melalui satu dialektika. Pengejaran pengetahuan hakiki melalui penalaran
dialektis menjadi pembuka jalan bagi para filsuf selanjutnya. Perubahan fokus filsafat dari memikirkan
alam menjadi manusia juga dikatakan sebagai jasa dari Sokrates. Manusia menjadi objek filsafat yang penting setelah sebelumnya
dilupakan oleh para pemikir hakikat alam semesta. Pemikiran
tentang manusia ini menjadi landasan bagi perkembangan filsafat etika dan
epistemologis di kemudian hari.[7]
2. Filsafat dan Ajaran Socrates
Hakikat dari seni Socrates terletak dalam fakta bahwa dia tidak
ingin menggurui orang. Sebaliknya dia memberi kesan sebagai seseorang yang
selalu ingin belajar dari orang-orang lain yang diajaknya berbicara. Jadi
bukannya memberi kuliah seperti layaknya seorang guru tradisional, dia mengajak
berdiskusi.[8]
Socrates merupakan tokoh sentral di Yunani dan juga merupakan penganut moral yang absolut. Ia mengungkapkan akan
adanya kebenaran umum dan kebenaran yang disepakati bersama. Ia juga
mengajarkan kepada khalayak ramai terutama kaum kaum muda bahwa pengetahuan
adalah kebajikan dan kebajikan adalah kebahagiaan.[9]
Bagi Socrates, merenungi dan membagi filsafat adalah suatu seni
tingkat tinggi. Dia tidak memungut bayaran untuk setiap pengajaran yang dia
lakukan. Socrates dituduh senang memberi hadiah kepada siapapun yang mau
mengharap kepada siapapun yang mau mendengarkannya, meski faktanya dia adalah
seorang yang miskin. Dia memahami dirinya sebagai orang yang taat atau orang
yang sedang melayani Tuhan ketika mempratikkan filsafat sepanjang kehidupannya
dengan memberi nasihat kepada orang dan menunjukkan jalan untuk mengetahui
hikmat, kebenaran dan kebijakan sebaik dan sebanyak mungkin untuk menjangkau
jiwa manusia sebesar mungkin. Ini adalah misinya yang telah dia terima dari Tuhan.
Dia melihat dirinya sebagai karunia yang Tuhan telah beri kepada orang Atena.[10]
Pemahaman Socrates dalam filsafat adalah suatu peninjauan
diri yang bersifat reflektif atau perenungan terhadap asas-asas dari kehidupan
yang adil dan bahagia (principles of the jus and happy life).[11] Jika dipandang sepintas lalu, pendapat
Socrates tidak banyak berbeda dengan orang-orang sofis. Filsafatnya bertolak
dari kehidupannya sehari-hari (sama dangan orang-orang sofis) hanya saja
Socrates menentang ajaran relativisme sofis dan ingin menegakkan agama dan sains.[12]
Tentu saja dia tidak mungkin dapat menjadi seorang filosof
termasyhur kalau dia membatasi diri dengan hanya mendengarkan orang-orang lain.
Dia pun tidak akan dihukum mati jika begitu. Tapi dia hanya mengajukan
pertanyaan-pertanyaan, terutama untuk memulai percakapan, seakan-akan dia tidak
mengetahui apa-apa. Dalam sebuah diskusi biasanya dia berhasil membuat para
penentangnnya mengakui kelemahan argumen-argumen mereka, dan arena tersudut
mereka akhirnya menyadari apa yang benar dan apa salah.[13]
Socrates berpendapat bahwa ajaran dan
kehidupan adalah satu dan tak dapat dipisahkan
satu dengan yang
lainnya. Oleh karena itu, dasar dari segala penelitian dan pembahasan adalah pengujian diri sendiri.
Bagi Socrates pengetahuan yang sangat berharga adalah pengetahuan tentang diri
sendiri. Semboyan yang paling digemarinya adalah apa yang tertera pada kuil Delphi
yaitu; “kenalilah dirimu sendiri.”[14] Socrates memandang akan adanya kebenaran objektif, yang tidak bergantung
pada saya (individu) atau kita (kelompok). Dalam pembuktian hal ini Socrates
menggunakan beberapa metode. Metode tersebut bersifat praktis dan dijalankan
melalui percakapan-percakapan atau disebut juga dengan dialog yang kemudian
dianalisis. Metode ini dianggap memiliki peranan penting dalam menggali kebenaran objektif. Contoh, ketika Ia ingin
menemukan makna adil, dia bertanya kepada pedagang, prajurit, penguasa dan
guru. Dari semua penjelasan yang diberikan oleh lapisan masyarakat itu dapat
ditarik sebuah benang merah yang bersifat universal tentang keadilan, dari
sinilah menurut Socrates kebenaran universal ditemukan. Atau menghasilkan
jawaban pertama (hipotesis pertama). Jika jawaban pertama menghasilkan
konsekuensi yang mustahil maka hipotesis itu diganti dengan hipotesis lain dan
begitulah selanjutnya. Dan diskusi itu biasanya berakhir dengan aporia
(kebingungan) dan terkadang juga menghasilkan suatu defenisi yang dianggap
berguna. Dan metode ini disebut dialektika (dialog), yang berasal dari bahasa Yunani
yakni dialeghesthai.[15]
Proses dialektik di sini mengandung arti dialog antara dua
pendirian yang bertentangan ataupun merupakan perkembangan pemikiran dengan memakai
pertemuan (interplay) antar ide. Sedangkan sikap kritis itu berarti
Socrates tidak mau menerima begitu saja sesuatu pengertian sebelum dilakukan
pengujian untuk membuktikan benar atau salahnya. Oleh karena itu untuk dalam
melaksanakan metode Dialektik-Kritis ini, Socrates selalu meminta penjelasan
tentang sesuatu pengertian dari orang yang dianggapnya ahli dalam bidang tersebut.
Misalnya saja, ia bertanya kepada seseorang seniman tentang apa yang dimaksud
dengan “keindahan”, kepada seorang panglima dia bertanya apa yang dimaksud
dengan “keberanian”, kepada seorang pemimpin dia menanyakan masalah “keadilan”,
dan lain-lain.[16]
Menurut Xenophon pertanyaan itu berisi tentang
salah dan tidak salah, adil dan tidak adil, berani dan dan pengecut, dll. Dalam traktat Aristoteles tentang metafisiska, ia memberikan catatan
mengenai metode socrates ini. Ia
memperoleh induksi dan defenisi, kedua penemuan tersebut merupakan dasar pengetahuan.
1)
Induksi
Induksi merupakan cara pengambilan kesepakatan
dengan cara bertolak dari pengetahuan yang khusus, lalu menyimpulkan yang umum.
Contohnya: Ridwan ingin mengetahui apa yang
dimaksud dengan kemakmuran. Maka untuk
mencapai pengertian yang
sebenarnya Ridwan bertanya kepada petani, wiraswasta,
bidan, tukang sayur, mbak jamu. Setelah memperoleh pendapat
mereka maka pendapat yang disetujui bersama akan ditulis
dan pendapat yang tidak disetujui bersama disisihkan.
2)
Defenisi
Defenisi merupakan hasil dari induksi atau
diperoleh dengan jalan mengadakan induksi tersebut.
Contohnya: Pengertian kemakmuran yang telah
diperoleh oleh Ridwan.
Orang sofis berpendapat bahwa semua
pengetahuan adalah relatif keadaanya. Yang benar ialah pengetahuan yang umum
ada dan pengetahuan yang khusus ada. Dan pengetahuan yang khusus itulah yang
relatif. Mari kita ambil contoh ini.
Apakah kursi itu? Kita menemukan kursi hakim,
ada tempat duduk dan sandaran, kakinya empat, dari bahan jati; kita lihat kursi
malas, ada tempat duduk dan sandaran, kakinya dua, dari rotan; kita lihat kursi
makan, ada tempat duduk dan sandaran, kakinya tiga, dari besi; bagitulah seterusnya.
Jadi ada dua hal yang selalu ada pada tiap kursi tempat duduk dan sandaran.
Maka semua orang sepakat bahwa kursi adalah suatu benda yang memiliki tempat
duduk dan sandaran. Ciri-ciri yang lain tidak dimiliki oleh semua kursi tadi,
berarti ini merupakan kebenaran yang objektif-umum, tidak subjektif-relatif.
Mengenai kaki, bahan merupakan kebenaran yang relatif. Jadi, memang ada
pengetahuan yang umum, itulah defenisi.[17]
Dengan mengajukan defenisi Socratres tersebut
mengakibatkan berhentinya laju dominasi relatifisme kaum sofis. Sehingga
pengikut Socrates menjadi lebih dominan dibandingkan pengikut kaum sofis. Plato
memperkokoh tesis Socrates itu dengan mengatakan bahwa kebenaran umum itu telah
ada di alam idea tanpa harus melakukan induksi.[18]
Konsep Socrates tentang roh, terkenal tidak
tentu (indeterminate) dan berpandangan terbuka (openminded), jelas-jelas tidak
agamais dan terlihat tidak mengandalkan doktrin-doktrin metafisik atau
teologis. Juga tidak melibatkan komitmen-komitmen naturalistik atau fisik apapun,
seperti pandangan tradisional bahwa roh adalah “nafas” yang menghidupkan.
Sebenarnya juga tidak jelas bahwa ia sedang mencari kesepakatan bagi
pendapatnya bahwa roh tidak dapat
mati, dan didalam
Apologi, ia hanya
mengatakan betapa indahnya jika demikian adanya. Hidup (dan mati) demi
roh seseorang murni berkaitan dengan karakter dan integritas pribadi, bukan
dengan harapan-harapan akan ganjarannya dimasa depan. Perhatian Socrates murni
etis, tanpa suatu gambaran akan intrik kosmologi yang telah mempesona para
pendahulunya.
Socrates diakhir-akhir hidupnya banyak
mempertanyakan tentang akhirat dan hidup yang abadi kelak dibelakang hari dan
begitu juga tentang kekalnya roh. Socrates berpendapat bahwa roh itu telah ada
sebelum manusia, dalam keadaan yang tidak kita ketahui. Kendatipun roh itu
telah bertali dengan tubuh manusia, tetapi diwaktu manusia
itu mati, roh
itu kembali kepada asalnya mula. Diwaktu orang berkata kepada Socrates, bahwa raja bermaksud
akan membunuhnya. Dia menjawab: “Socrates adalah didalam kendi, raja hanya bisa
memecahkan kendi. Kendi pecah, tetapi air akan kembali ke dalam laut”.
Maksudnya, yang hancur luluh hanyalah tubuh, sedang jiwa adalah kekal (abadi).
Model pembelajaran ini akan lebih efektif apabila didukung dengan
penerapan metode dialog Socrates. Metode ini lebih dikenal dengan metode debat
konfrontatif. Debat adalah kegiatan adu argumentasi antara dua pihak atau
lebih, baik secara perorangan maupun kelompok, dalam mendiskusikan dan
memutuskan masalah dan perbedaan. Sedangkan, konfrontatif itu dapat diartikan
sebagai kelompok yang berbeda pendapat, dengan posisi berhadap-hadapan dalam
mengeluarkan pendapatnya untuk mempertahankan pandangannya masing-masing.[19]
Usaha pencarian Socrates yang sebenarnya juga memperoleh
petunjuk-petunjuk yang berguna dan tambahan kontradiksi dalam hal betapa
sedikitnya yang diketahui tentang murid-murid Socrates yang lain, dan dalam hal
sedikitnya rujukan tentang filsuf itu dalam literature Yunani maupun dari Bapak
Gereja.[20]
Pada periode Yunani klasik perkembangan filsafat menunjukan
kepastian, yaitu ditandainya semakin besar minat orang terhadap filsafat. Zaman
klasik bermula dengan Socrates, tetapi Socrates belum sampai kepada sesuatu
sistim filosofi, yang memberikan nama klasik kepada filosofi itu. Sistem ajaran
filosofi klasik baru dibangun oleh plato dan aristoteles, berdasaran ajaran
Socrates tentang pengetahuan dan etik beserta folosofi alam yang berkembang
sebelum Socrates.
Budi ialah tahu, kata Socrates inilah intisari dari pada Etikanya.
Orang yang berpengetahuan dengan sendirinya berbudi baik. Paham etikanya itulah
kelanjutan daripada metode Socrates. Ajaran Etik Socrates intelektual sifatnya,
selain dari itu juga rasional.Menurut Socrates,
Manusia itu pada dasarnya baik. Seperti dengan selaga barang yang ada itu ada
tujuannya, begitu juga hidup Manusia. Keadaan dan tujuan Manusia ialah kebaikan
sifatnya dan kebaikan budinya. Dari pandangan Etik yang rasioal itu Socrates
sampai kepada sikap hidup, yang penuh rasa keagamaan. Menurut keyakinannya,
menderita kezaliman lebih baik dari berbuat zalim. Dalam segi pandangan Socrates
yang berisi keagamaan, terdapat pengaruh paham rasionalisme. Semuanya itu
menunjukkan kebulatan ajarannya, yang menjadikan ia sekarang Filosof yang utama
seluruh masa. Seperti juga Socrates etika Plato bersifat intelektual dan
rasional. Dasar ajarannya ialah mencapai budi baik. Pendapat Plato seterusnya
tentang etik bersendi pada ajarannya tentang idea. Menurut Plato, ada dua macam
budi :
1)
Budi
Filosofi yang timbul dari pengetahuan dengan pengertian.
2)
Budi
yang biasa terbawa oleh kebiasaan orang banyak. Sikap hidup yang di pakai tidak
terbit dari keyakinan, melainkan disesuaikan kepada moral orang banyak. Ada dua
jalan yang dapat ditempuh untuk melaksanakan dasar etik yaitu:
a)
melarikan
diri dalampikiran dari dunia yang lahir dan hidup sematamata dalam dunia idea.
b)
mengusahakan
berlakunya idea itu dalam dunia yang lahir ini.
Pengetahuan bisa direduksi menjadi perbandingan dan perbedaan. Jika
hanya satu hal saja eksis di dalam semesta yang kosong, maka tidak bias
melukiskannya atau mengetahuinya. Dalam menghadapi setiap masalah Yunani banyak
yang bias dipelajari dengan melihat aspek-aspek analoginya dengan peradaban
Romawi. Perbandingan bahkan perbedaan antara dua masyarakat yang sama tetapi
secara luas berlainan itu bias menjelaskan. Contoh: mempelajari prosedur
pemberian suara dan aturan debat, di majelis Republik Romawi berdampingan
dengan majelis Athena, yang pertama oligarki sedikit terselubung yang kedua
demokrasi penuh dan langsung.[21]
Jadi suatu usaha untuk memperoleh pemahaman baru dari peradilan
Socrates juga akan menjadi angin segar dalam memandang zaman kuegar dalam
memandang zaman kuno klasik. Itu merupakan masa lalu dan juga tanpa dia tidak
akan mengetahui dirinya sendiri.
C. PENUTUP
Dari pembahasan filsafat Sokrates dapat
diambil kesimpulan bahwa secara umum Socrates hidup dari
tahun 470 SM hingga 399 SM. Ia dilahirkan di Athena. Ayahnya adalah seorang pemahat bernama Sophroniscus dan ibunya seorang
bidan bernama Phaenarete. Setelah ayahnya meninggal dunia, Socrates
manggantikan ayahnya sebagai pemahat. Hingga akhirnya ia berhenti dari
pekerjaan itu dan bekerja dalam lapangan filsafat dengan dibelanjai oleh
seorang penduduk Athena yang kaya.
Socrates berpendapat bahwa ajaran dan kehidupan adalah satu dan tak dapat
dipisahkan satu dengan
yang lainnya. Oleh karena itu, dasar dari segala penelitian dan pembahasan adalah pengujian diri sendiri.
Bagi Socrates pengetahuan yang sangat berharga adalah pengetahuan tentang diri
sendiri. Semboyan yang paling digemarinya adalah apa yang tertera pada kuil
Delphi yaitu; “kenalilah dirimu sendiri.” Socrates memandang akan adanya kebenaran
objektif, yang tidak bergantung pada saya (individu) atau kita (kelompok).
Dalam pembuktian hal ini Socrates menggunakan beberapa metode. Metode tersebut
bersifat praktis dan dijalankan melalui percakapan-percakapan atau disebut juga
dengan dialog yang kemudian dianalisis. Metode ini dianggap memiliki preanan
penting dalam menggali kebenaran
objektif.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Achmadi, Asmoro, Filsafat Umum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.
Bill, Yenne, 100 Pria Pengukir Sejarah Dunia, alih
bahasa: Didik Djunaedi, Pustaka Delapratasa: Jakarta, 2002.
Gaarder, Jostein, Shophie’s World, terj. Rahmani Astuti, Dunia
Sophie: Sebuah Novel Filsafat, Bandung: Mizan Pustaka, 2006.
Gie, The liang, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty,
1999.
Rahma Asa Harun, The Real of Socrates, terj. Peradilan Socrates
Skandal Terbesar dalam Demokrasi Athena, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,
1991.
Hasan, Fuad, Apologi Pidato Pembelaan Socrates Yang Diabadikan Plato, Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
Ioanes, Rakhmat, Sokrates
dalam Tetralogi Plato: Sebuah Pengantar dan Terjemahan Teks, Jakarta:
Gramedia, 2009.
Mustansyir, Rizal, Filsafat Analitik; Sejarah, Perkembangan dan
Peranan Para Tokohnya, Jakarta: Grafindo Persada, 1995.
Syadali, Ahmad, Filsafat Umum, Bandung: Pustaka Setia, 1997.
Tafsir, Ahmad, FilsafatUmum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008.
Uno B.,Hamzah, Perencanaan Pembelajaran, Jakarta: Bumi
aksara, 2007.
[1] Jostein
Gaarder, Shophie’s World, terj. Rahmani Astuti, Dunia Sophie: Sebuah
Novel Filsafat, (Bandung: Mizan Pustaka, 2006), hlm. 81.
[2] Yenne Bill 100 Pria Pengukir Sejarah
Dunia, alih bahasa: Didik Djunaedi,. (Jakarta: Pustaka Delapratasa, 2002),
hal. 32-33.
[6] Ahmad Tafsir, FilsafatUmum Akal dan Hati
Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), hlm. 57.
[7] Ioanes Rakhmat, Sokrates dalam Tetralogi Plato Sebuah Pengantar
dan Terjemah Teks, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 137.
[8]
Jostein
Gaarder, Shophie’s World, terj. Rahmani Astuti, Dunia Sophie: Sebuah
Novel Filsafat,.. hlm. 83.
[13]
Jostein
Gaarder, Shophie’s World, terj. Rahmani Astuti, Dunia Sophie: Sebuah
Novel Filsafat,… hlm. 83.
[14] Fuad Hasan, Apologi Pidato Pembelaan
Socrates Yang Diabadikan Plato, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hlm. 36.
[16]
Rizal
Mustansyir, Filsafat Analitik; Sejarah, Perkembangan dan Peranan Para
Tokohnya, (Jakarta: Grafindo Persada, 1995), hlm. 19.
[19] Hamzah Uno B.,
Perencanaan Pembelajaran, (Jakarta: Bumi aksara, 2007), hlm. 30.
[20]
Rahma Asa
Harun, The Real of Socrates, terj. Peradilan Socrates Skandal
Terbesar dalam Demokrasi Athena, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991),
hlm. 3.
[21]
Rahma Asa
Harun, The Real of Socrates, terj. Peradilan Socrates Skandal
Terbesar dalam Demokrasi Athena,…hlm. 4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar