Jumat, 23 Agustus 2013

Filsafat Socrates


by: fabiocanasaro

SOCRATES
A.    PENDAHULUAN
Dalam sejarah filsafat Socrates merupakan tokoh yang fenomenal. Dia merupakan salah satu dari dari tiga filsuf yang terkenal pada zamannya. Socrates memiliki cara sendiri untuk membuktikan kebenaran pendapat ataupun ,pemikirannya, bahkan dia tidak malu untuk berpura-pura menjadi orang yang bodoh bahkan gila. Dalam perjalanan mencari kebenarannya dia lebih suka pergi kepasar, alun-alun atau ketempat keramaian lainnya.
Socrates sering disamakan seperti Yesus, yaitu bahwa tidak ada peradilan manapun, kecuali yang dilaksanakan atas Yesus, meninggalkan kesan begitu kuat didalam imajinasi orang Barat seperti peradilan Socrates. Dua kejadian tersebut memiliki banyak kesamaan. Tidak ada catatan sezaman yang berdiri sendiri tentang keduanya, tidak ada juga penelitsian-penelitian yang dilakukan. Ada juga yang menyatakan bahwa mencari sejarah Socrates seperti juga mencari sejarahnya Yesus yang terus masih berlangsung sehingga menghasilkan lebih banyak literatur, banyaknya spekulasi, dan kontroversi.
Adapun salah satu peninggalan pemikiran dari Socrates yang paling penting ada pada cara dia berfilsafat dengan mengejar satu definisi absolut atas satu permasalahan melalui satu dialektika. Pengejaran pengetahuan hakiki melalui penalaran dialektis menjadi pembuka jalan bagi para filsuf selanjutnya. Perubahan fokus filsafat dari memikirkan alam menjadi manusia juga dikatakan sebagai jasa dari Sokrates. Manusia menjadi objek filsafat yang penting setelah sebelumnya dilupakan oleh para pemikir hakikat alam semesta. Pemikiran tentang manusia ini menjadi landasan bagi perkembangan filsafat etika dan epistemologis di kemudian hari.


B.     ISI
1.      Biografi Socrates
Socrates (470-399 SM) adalah tokoh paling penuh teka-teki dalam seluruh sejarah filsafat. Dia tidak pernah menulis sebaris kalimatpun. Namun dia salah seorang filosof yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap pemikiran Eropa, dan itu sama sekali bukan karena cara kematiannya yang dramatis.[1] Socrates merupakan filsuf dari Athena, Yunani dan merupakan salah satu figur paling penting dalam tradisi filosofis Barat. Socrates lahir di Athena, dan merupakan generasi pertama dari tiga ahli filsafat besar dari Yunani, yaitu Socrates, Plato dan Aristoteles. Socrates adalah guru Plato, dan Plato pada gilirannya juga mengajar Aristoteles. Semasa hidupnya, Socrates tidak pernah meninggalkan karya tulisan apapun sehingga sumber utama mengenai pemikiran Socrates berasal dari tulisan muridnya, Plato.
Ayah Socrates merupakan seorang yang berprofesi sebagai seorang pemahat patung dari batu (stone mason) bernama Sophroniskos. Ibunya bernama Phainarete berprofesi sebagai seorang bidan, dari sinilah Socrates menamakan metodenya berfilsafat dengan metode kebidanan nantinya. Socrates beristri seorang perempuan bernama Xantippe dan dikaruniai tiga orang anak.[2]        
Socrates hidup dari tahun 470 SM hingga 399 SM. Ia dilahirkan di Athena. Ayahnya adalah seorang pemahat bernama Sophroniscus dan ibunya seorang bidan bernama Phaenarete. Setelah ayahnya meninggal dunia, Socrates manggantikan ayahnya sebagai pemahat. Hingga akhirnya ia berhenti dari pekerjaan itu dan bekerja dalam lapangan filsafat dengan dibelanjai oleh seorang penduduk Athena yang kaya.[3] Masa Socrates bertepatan dengan masa kaum sofis. Walaupun begitu, dengan sekuat tenaga Socrates menentang ajaran para sofis. Ia membela yang benar dan yang baik sebagai nilai objektif yang harus diterima dan dijunjung tinggi oleh semua orang. Socrates merupakan contoh istimewa dan selaku filosof yang jujur juga berani, berkepribadian yang sabar, rendah hati, baik dan adil yang selalu menyatakan dirinya bodoh. Badannya tidak gagah sebagai biasanya sebagai penduduk Athena. Meskipun dia orang yang berilmu, tapi dia dalam memilih orang yang jadi istri bukan dari golongan orang baik-baik dan pandai.  Istrinya  bernama  Xantipe  yang  terkenal  akan  kejudesannya  (galak  dan  keras). Cara penyampaian ilmu atau filsafatnya dilakukan secara tanya jawab, sehingga memperoleh banyak simpati.[4]
Masa-masa buruknya hubungan Athena dan Sparta terjadi antara tahun 421 dan 416 SM. Salah seorang murid Socrates menyebabkan Athena kalah di Syracuse 413 SM. Kubu Socrates semakin kuat, orang sofis sudah semakin kehabisan pengikut. Ajaran  bahwa kebenaran itu relatif semakin  ditinggalkan,  semakin tidak laku, orang sofis kalap, lalu menuduh Socrates merusak mental pemuda dan menolak Tuhan-Tuhan, hal ini terjadi pada tahun 399 SM. Walaupun demikian, Kierkegaard yang merupakan Bapak Eksistensialisme Modren mengagumi Socrates bahkan filsafat Socrates dijadikan model filsafatnya. Karena socrates secara konstan menentang orang-orang sofis pada zaman itu.4
Untuk pembuktian hal itu Socrates diadili oleh pengadilan Athena. Plato menulis sebuah pidato berjudul Apologia untuk membela Socrates. Dan mengisahkan  adanya tuduhan bahwa Socrates tidak hanya menentang agama yang diakui oleh Negara, dan mengajarkan agama baru buatannya sendiri. Melethus seorang pendakwa juga mengatakan bahwa Socrates tidak bertuhan menambahkan bahwa Socrates mengatakan matahari adalah batu dan bulan adalah tanah.[5] Sehingga, Socrates dinyatakan bersalah dan dituntut hukuman mati dengan  mayoritas 60  suara, 280 melawan 220 (281 melawan 220 menurut Hassan, 1973:74 dan 200 melawan 220 menurut Ahmad Syadali, 1997:67). Selama socrates di dalam penjara ia masih dapat berbicara dengan sahabatnya. Kriton ialah sahabat socrates yang mengusulkan  Socrates  melarikan  diri, tetapi  Socrates  menolak. Dan  pada waktu  senja  dengan  tenang Socrates meminum racun, dikelilingi oleh para sahabatnya. Sekalipun Socrates mati, ajarannya tersebar justru dengan cepat karena kematiannya itu. Orang mulai mempercayai adanya kebenaran umum. Plato membuat pidato berjudul phaidon, ia menceritakan percakapan Socrates dengan dengan para muridnya pada hari terakhir  hidupnya,  dan  melukiskan  Socrates  pada  suatu senja dengan tenang meminum racun, dikelilingi oleh para sahabatnya.[6]
Secara historis, filsafat Socrates mengandung pertanyaan karena Socrates sediri tidak pernah diketahui menuliskan buah pikirannya. Apa yang dikenal sebagai pemikiran Socrates pada dasarnya adalah berasal dari catatan oleh Plato, Xenophone (430-357) SM, dan siswa-siswa lainnya. Yang paling terkenal diantaranya adalah penggambaran Socrates dalam dialog-dialog yang ditulis oleh Plato. Dalam karya-karyanya, Plato selalu menggunakan nama gurunya sebagai tokoh utama sehingga sangat sulit memisahkan gagasan Socrates yang sesungguhnya dengan gagasan Plato yang disampaikan melalui mulut Sorates. Nama Plato sendiri hanya muncul tiga kali dalam karya-karyanya sendiri yaitu dua kali dalam Apologi dan sekali dalam Phaedrus.                                                          Socrates dikenal sebagai seorang yang tidak tampan, berpakaian sederhana, tanpa alas kaki dan berkelilingi mendatangi masyarakat Athena berdiskusi soal filsafat. Dia melakukan ini pada awalnya didasari satu motif religius untuk membenarkan suara gaib yang didengar seorang kawannya dari Oracle Delphi yang mengatakan bahwa tidak ada orang yang lebih bijak dari Socrates. Merasa diri tidak bijak dia berkeliling membuktikan kekeliruan suara tersebut, dia datangi satu demi satu orang-orang yang dianggap bijak oleh masyarakat pada saat itu dan dia ajak diskusi tentang berbagai masalah kebijaksanaan. Metode berfilsafatnya inilah yang dia sebut sebagai metode kebidanan. Dia memakai analogi seorang bidan yang membantu kelahiran seorang bayi dengan caranya berfilsafat yang membantu lahirnya pengetahuan melalui diskusi panjang dan mendalam. Dia selalu mengejar definisi absolut tentang satu masalah kepada orang-orang yang dianggapnya bijak tersebut meskipun kerap kali orang yang diberi pertanyaan gagal melahirkan definisi tersebut. Pada akhirnya Socrates membenarkan suara gaib tersebut berdasar satu pengertian bahwa dirinya adalah yang paling bijak karena dirinya tahu bahwa dia tidak bijaksana sedangkan mereka yang merasa bijak pada dasarnya adalah tidak bijak karena mereka tidak tahu kalau mereka tidak bijaksana.
Cara berfilsafatnya inilah yang memunculkan rasa sakit hati terhadap Socrates karena setelah penyelidikan itu maka akan tampak bahwa mereka yang dianggap bijak oleh masyarakat ternyata tidak mengetahui apa yang sesungguhnya mereka duga mereka ketahui. Rasa sakit hati inilah yang nantinya akan berujung pada kematian Socrates melalui peradilan dengan tuduhan resmi merusak generasi muda, sebuah tuduhan yang sebenarnya dengan gampang dipatahkan melalui pembelaannya sebagaimana tertulis dalam Apologi karya Plato. Socrates pada akhirnya wafat pada usia tujuh puluh tahun dengan cara meminum racun sebagaimana keputusan yang diterimanya dari pengadilan dengan hasil voting 280 mendukung hukuman mati dan 220 menolaknya.
Socrates sebenarnya dapat lari dari penjara, sebagaimana ditulis dalam Krito, dengan bantuan para sahabatnya namun dia menolak atas dasar kepatuhannya pada satu "kontrak" yang telah dia jalani dengan hukum di kota Athena. Keberaniannya dalam menghadapi maut digambarkan dengan indah dalam Phaedo karya Plato. Kematian Socrates dalam ketidakadilan peradilan menjadi salah satu peristiwa peradilan paling bersejarah dalam masyarakat Barat di samping peradilan Yesus Kristus.       
Peninggalan pemikiran Socrates yang paling penting ada pada cara dia berfilsafat dengan mengejar satu definisi absolut atas satu permasalahan melalui satu dialektika. Pengejaran pengetahuan hakiki melalui penalaran dialektis menjadi pembuka jalan bagi para filsuf selanjutnya. Perubahan fokus filsafat dari memikirkan alam menjadi manusia juga dikatakan sebagai jasa dari Sokrates. Manusia menjadi objek filsafat yang penting setelah sebelumnya dilupakan oleh para pemikir hakikat alam semesta. Pemikiran tentang manusia ini menjadi landasan bagi perkembangan filsafat etika dan epistemologis di kemudian hari.[7]

2.      Filsafat  dan Ajaran Socrates
Hakikat dari seni Socrates terletak dalam fakta bahwa dia tidak ingin menggurui orang. Sebaliknya dia memberi kesan sebagai seseorang yang selalu ingin belajar dari orang-orang lain yang diajaknya berbicara. Jadi bukannya memberi kuliah seperti layaknya seorang guru tradisional, dia mengajak berdiskusi.[8]
Socrates merupakan tokoh sentral di Yunani dan juga merupakan penganut moral yang absolut. Ia mengungkapkan akan adanya kebenaran umum dan kebenaran yang disepakati bersama. Ia juga mengajarkan kepada khalayak ramai terutama kaum kaum muda bahwa pengetahuan adalah kebajikan dan kebajikan adalah kebahagiaan.[9]
Bagi Socrates, merenungi dan membagi filsafat adalah suatu seni tingkat tinggi. Dia tidak memungut bayaran untuk setiap pengajaran yang dia lakukan. Socrates dituduh senang memberi hadiah kepada siapapun yang mau mengharap kepada siapapun yang mau mendengarkannya, meski faktanya dia adalah seorang yang miskin. Dia memahami dirinya sebagai orang yang taat atau orang yang sedang melayani Tuhan ketika mempratikkan filsafat sepanjang kehidupannya dengan memberi nasihat kepada orang dan menunjukkan jalan untuk mengetahui hikmat, kebenaran dan kebijakan sebaik dan sebanyak mungkin untuk menjangkau jiwa manusia sebesar mungkin. Ini adalah misinya yang telah dia terima dari Tuhan. Dia melihat dirinya sebagai karunia yang Tuhan telah beri kepada orang Atena.[10]
Pemahaman Socrates dalam filsafat adalah  suatu peninjauan diri yang bersifat reflektif atau perenungan terhadap asas-asas dari kehidupan yang adil dan bahagia (principles of the jus and happy life).[11]  Jika dipandang sepintas lalu, pendapat Socrates tidak banyak berbeda dengan orang-orang sofis. Filsafatnya bertolak dari kehidupannya sehari-hari (sama dangan orang-orang sofis) hanya saja Socrates menentang ajaran relativisme sofis dan ingin menegakkan agama dan sains.[12]
Tentu saja dia tidak mungkin dapat menjadi seorang filosof termasyhur kalau dia membatasi diri dengan hanya mendengarkan orang-orang lain. Dia pun tidak akan dihukum mati jika begitu. Tapi dia hanya mengajukan pertanyaan-pertanyaan, terutama untuk memulai percakapan, seakan-akan dia tidak mengetahui apa-apa. Dalam sebuah diskusi biasanya dia berhasil membuat para penentangnnya mengakui kelemahan argumen-argumen mereka, dan arena tersudut mereka akhirnya menyadari apa yang benar dan apa salah.[13]
Socrates berpendapat bahwa ajaran dan kehidupan adalah satu dan tak dapat dipisahkan  satu  dengan  yang  lainnya.  Oleh karena itu,  dasar dari segala penelitian  dan pembahasan adalah pengujian diri sendiri. Bagi Socrates pengetahuan yang sangat berharga adalah pengetahuan tentang diri sendiri. Semboyan yang paling digemarinya adalah apa yang tertera pada kuil Delphi yaitu; “kenalilah dirimu sendiri.[14] Socrates memandang akan adanya kebenaran objektif, yang tidak bergantung pada saya (individu) atau kita (kelompok). Dalam pembuktian hal ini Socrates menggunakan beberapa metode. Metode tersebut bersifat praktis dan dijalankan melalui percakapan-percakapan atau disebut juga dengan dialog yang kemudian dianalisis. Metode ini dianggap memiliki peranan penting dalam menggali  kebenaran objektif. Contoh, ketika Ia ingin menemukan makna adil, dia bertanya kepada pedagang, prajurit, penguasa dan guru. Dari semua penjelasan yang diberikan oleh lapisan masyarakat itu dapat ditarik sebuah benang merah yang bersifat universal tentang keadilan, dari sinilah menurut Socrates kebenaran universal ditemukan. Atau menghasilkan jawaban pertama (hipotesis pertama). Jika jawaban pertama menghasilkan konsekuensi yang mustahil maka hipotesis itu diganti dengan hipotesis lain dan begitulah selanjutnya. Dan diskusi itu biasanya berakhir dengan aporia (kebingungan) dan terkadang juga menghasilkan suatu defenisi yang dianggap berguna. Dan metode ini disebut dialektika (dialog), yang berasal dari bahasa Yunani yakni dialeghesthai.[15]
Proses dialektik di sini mengandung arti dialog antara dua pendirian yang bertentangan ataupun merupakan  perkembangan pemikiran dengan memakai pertemuan (interplay) antar ide. Sedangkan sikap kritis itu berarti Socrates tidak mau menerima begitu saja sesuatu pengertian sebelum dilakukan pengujian untuk membuktikan benar atau salahnya. Oleh karena itu untuk dalam melaksanakan metode Dialektik-Kritis ini, Socrates selalu meminta penjelasan tentang sesuatu pengertian dari orang yang dianggapnya ahli dalam bidang tersebut. Misalnya saja, ia bertanya kepada seseorang seniman tentang apa yang dimaksud dengan “keindahan”, kepada seorang panglima dia bertanya apa yang dimaksud dengan “keberanian”, kepada seorang pemimpin dia menanyakan masalah “keadilan”, dan lain-lain.[16]
Menurut Xenophon pertanyaan itu berisi tentang salah dan tidak salah, adil dan tidak adil, berani dan dan pengecut, dll. Dalam traktat Aristoteles tentang metafisiska, ia memberikan catatan mengenai metode socrates ini.  Ia memperoleh induksi  dan defenisi,  kedua penemuan  tersebut merupakan dasar pengetahuan.

1)      Induksi
     Induksi merupakan cara pengambilan kesepakatan dengan cara bertolak dari pengetahuan yang khusus, lalu menyimpulkan yang umum.
Contohnya: Ridwan ingin mengetahui apa yang dimaksud dengan kemakmuran.  Maka   untuk   mencapai   pengertian   yang  sebenarnya  Ridwan bertanya kepada petani, wiraswasta,  bidan,  tukang  sayur, mbak jamu. Setelah memperoleh pendapat mereka maka pendapat yang disetujui bersama akan ditulis dan pendapat yang tidak disetujui bersama disisihkan. 

2)      Defenisi
     Defenisi merupakan hasil dari induksi atau diperoleh dengan jalan mengadakan induksi tersebut.
Contohnya: Pengertian kemakmuran yang telah diperoleh oleh Ridwan.
Orang sofis berpendapat bahwa semua pengetahuan adalah relatif keadaanya. Yang benar ialah pengetahuan yang umum ada dan pengetahuan yang khusus ada. Dan pengetahuan yang khusus itulah yang relatif. Mari kita  ambil contoh ini.
Apakah kursi itu? Kita menemukan kursi hakim, ada tempat duduk dan sandaran, kakinya empat, dari bahan jati; kita lihat kursi malas, ada tempat duduk dan sandaran, kakinya dua, dari rotan; kita lihat kursi makan, ada tempat duduk dan sandaran, kakinya tiga, dari besi; bagitulah seterusnya. Jadi ada dua hal yang selalu ada pada tiap kursi tempat duduk dan sandaran. Maka semua orang sepakat bahwa kursi adalah suatu benda yang memiliki tempat duduk dan sandaran. Ciri-ciri yang lain tidak dimiliki oleh semua kursi tadi, berarti ini merupakan kebenaran yang objektif-umum, tidak subjektif-relatif. Mengenai kaki, bahan merupakan kebenaran yang relatif. Jadi, memang ada pengetahuan yang umum, itulah defenisi.[17]
Dengan mengajukan defenisi Socratres tersebut mengakibatkan berhentinya laju dominasi relatifisme kaum sofis. Sehingga pengikut Socrates menjadi lebih dominan dibandingkan pengikut kaum sofis. Plato memperkokoh tesis Socrates itu dengan mengatakan bahwa kebenaran umum itu telah ada di alam idea tanpa harus melakukan induksi.[18]
Konsep Socrates tentang roh, terkenal tidak tentu (indeterminate) dan berpandangan terbuka (openminded), jelas-jelas tidak agamais dan terlihat tidak mengandalkan doktrin-doktrin metafisik atau teologis. Juga tidak melibatkan komitmen-komitmen naturalistik atau fisik apapun, seperti pandangan tradisional bahwa roh adalah “nafas” yang menghidupkan. Sebenarnya juga tidak jelas bahwa ia sedang mencari kesepakatan bagi pendapatnya bahwa roh tidak  dapat  mati,  dan  didalam  Apologi,  ia  hanya  mengatakan betapa indahnya jika demikian adanya. Hidup (dan mati) demi roh seseorang murni berkaitan dengan karakter dan integritas pribadi, bukan dengan harapan-harapan akan ganjarannya dimasa depan. Perhatian Socrates murni etis, tanpa suatu gambaran akan intrik kosmologi yang telah mempesona para pendahulunya.
Socrates diakhir-akhir hidupnya banyak mempertanyakan tentang akhirat dan hidup yang abadi kelak dibelakang hari dan begitu juga tentang kekalnya roh. Socrates berpendapat bahwa roh itu telah ada sebelum manusia, dalam keadaan yang tidak kita ketahui. Kendatipun roh itu telah bertali dengan tubuh manusia, tetapi diwaktu  manusia  itu  mati,  roh  itu kembali  kepada asalnya mula.  Diwaktu orang berkata kepada Socrates, bahwa raja bermaksud akan membunuhnya. Dia menjawab: “Socrates adalah didalam kendi, raja hanya bisa memecahkan kendi. Kendi pecah, tetapi air akan kembali ke dalam laut”. Maksudnya, yang hancur luluh hanyalah tubuh, sedang jiwa adalah kekal (abadi).
Model pembelajaran ini akan lebih efektif apabila didukung dengan penerapan metode dialog Socrates. Metode ini lebih dikenal dengan metode debat konfrontatif. Debat adalah kegiatan adu argumentasi antara dua pihak atau lebih, baik secara perorangan maupun kelompok, dalam mendiskusikan dan memutuskan masalah dan perbedaan. Sedangkan, konfrontatif itu dapat diartikan sebagai kelompok yang berbeda pendapat, dengan posisi berhadap-hadapan dalam mengeluarkan pendapatnya untuk mempertahankan pandangannya masing-masing.[19]
Usaha pencarian Socrates yang sebenarnya juga memperoleh petunjuk-petunjuk yang berguna dan tambahan kontradiksi dalam hal betapa sedikitnya yang diketahui tentang murid-murid Socrates yang lain, dan dalam hal sedikitnya rujukan tentang filsuf itu dalam literature Yunani maupun dari Bapak Gereja.[20]
Pada periode Yunani klasik perkembangan filsafat menunjukan kepastian, yaitu ditandainya semakin besar minat orang terhadap filsafat. Zaman klasik bermula dengan Socrates, tetapi Socrates belum sampai kepada sesuatu sistim filosofi, yang memberikan nama klasik kepada filosofi itu. Sistem ajaran filosofi klasik baru dibangun oleh plato dan aristoteles, berdasaran ajaran Socrates tentang pengetahuan dan etik beserta folosofi alam yang berkembang sebelum Socrates.
Budi ialah tahu, kata Socrates inilah intisari dari pada Etikanya. Orang yang berpengetahuan dengan sendirinya berbudi baik. Paham etikanya itulah kelanjutan daripada metode Socrates. Ajaran Etik Socrates intelektual sifatnya, selain dari itu juga rasional.Menurut  Socrates, Manusia itu pada dasarnya baik. Seperti dengan selaga barang yang ada itu ada tujuannya, begitu juga hidup Manusia. Keadaan dan tujuan Manusia ialah kebaikan sifatnya dan kebaikan budinya. Dari pandangan Etik yang rasioal itu Socrates sampai kepada sikap hidup, yang penuh rasa keagamaan. Menurut keyakinannya, menderita kezaliman lebih baik dari berbuat zalim. Dalam segi pandangan Socrates yang berisi keagamaan, terdapat pengaruh paham rasionalisme. Semuanya itu menunjukkan kebulatan ajarannya, yang menjadikan ia sekarang Filosof yang utama seluruh masa. Seperti juga Socrates etika Plato bersifat intelektual dan rasional. Dasar ajarannya ialah mencapai budi baik. Pendapat Plato seterusnya tentang etik bersendi pada ajarannya tentang idea. Menurut Plato, ada dua macam budi :
1)         Budi Filosofi yang timbul dari pengetahuan dengan pengertian.
2)         Budi yang biasa terbawa oleh kebiasaan orang banyak. Sikap hidup yang di pakai tidak terbit dari keyakinan, melainkan disesuaikan kepada moral orang banyak. Ada dua jalan yang dapat ditempuh untuk melaksanakan dasar etik yaitu:
a)      melarikan diri dalampikiran dari dunia yang lahir dan hidup sematamata dalam dunia idea.
b)      mengusahakan berlakunya idea itu dalam dunia yang lahir ini.
Pengetahuan bisa direduksi menjadi perbandingan dan perbedaan. Jika hanya satu hal saja eksis di dalam semesta yang kosong, maka tidak bias melukiskannya atau mengetahuinya. Dalam menghadapi setiap masalah Yunani banyak yang bias dipelajari dengan melihat aspek-aspek analoginya dengan peradaban Romawi. Perbandingan bahkan perbedaan antara dua masyarakat yang sama tetapi secara luas berlainan itu bias menjelaskan. Contoh: mempelajari prosedur pemberian suara dan aturan debat, di majelis Republik Romawi berdampingan dengan majelis Athena, yang pertama oligarki sedikit terselubung yang kedua demokrasi penuh dan langsung.[21]
Jadi suatu usaha untuk memperoleh pemahaman baru dari peradilan Socrates juga akan menjadi angin segar dalam memandang zaman kuegar dalam memandang zaman kuno klasik. Itu merupakan masa lalu dan juga tanpa dia tidak akan mengetahui dirinya sendiri.

C.    PENUTUP
Dari pembahasan filsafat Sokrates dapat diambil kesimpulan bahwa secara umum Socrates hidup dari tahun 470 SM hingga 399 SM. Ia dilahirkan di Athena. Ayahnya adalah seorang pemahat bernama Sophroniscus dan ibunya seorang bidan bernama Phaenarete. Setelah ayahnya meninggal dunia, Socrates manggantikan ayahnya sebagai pemahat. Hingga akhirnya ia berhenti dari pekerjaan itu dan bekerja dalam lapangan filsafat dengan dibelanjai oleh seorang penduduk Athena yang kaya.
Socrates berpendapat bahwa ajaran dan kehidupan adalah satu dan tak dapat dipisahkan  satu  dengan  yang  lainnya.  Oleh karena itu,  dasar dari segala penelitian  dan pembahasan adalah pengujian diri sendiri. Bagi Socrates pengetahuan yang sangat berharga adalah pengetahuan tentang diri sendiri. Semboyan yang paling digemarinya adalah apa yang tertera pada kuil Delphi yaitu; “kenalilah dirimu sendiri.” Socrates memandang akan adanya kebenaran objektif, yang tidak bergantung pada saya (individu) atau kita (kelompok). Dalam pembuktian hal ini Socrates menggunakan beberapa metode. Metode tersebut bersifat praktis dan dijalankan melalui percakapan-percakapan atau disebut juga dengan dialog yang kemudian dianalisis. Metode ini dianggap memiliki preanan penting dalam menggali  kebenaran objektif.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Achmadi, Asmoro,  Filsafat Umum,  Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.
Bill, Yenne, 100 Pria Pengukir Sejarah Dunia, alih bahasa: Didik Djunaedi, Pustaka Delapratasa: Jakarta, 2002.
Gaarder, Jostein, Shophie’s World, terj. Rahmani Astuti, Dunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat, Bandung: Mizan Pustaka, 2006.
Gie, The liang, Pengantar Filsafat Ilmu,  Yogyakarta: Liberty, 1999.
Rahma Asa Harun, The Real of Socrates, terj. Peradilan Socrates Skandal Terbesar dalam Demokrasi Athena, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991.
Hasan, Fuad, Apologi Pidato Pembelaan Socrates Yang Diabadikan Plato, Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
Ioanes, Rakhmat, Sokrates dalam Tetralogi Plato: Sebuah Pengantar dan Terjemahan Teks, Jakarta: Gramedia, 2009.
Mustansyir, Rizal, Filsafat Analitik; Sejarah, Perkembangan dan Peranan Para Tokohnya, Jakarta: Grafindo Persada, 1995.
Syadali, Ahmad,  Filsafat Umum, Bandung: Pustaka Setia, 1997.
Tafsir,  Ahmad, FilsafatUmum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008.
Uno B.,Hamzah, Perencanaan Pembelajaran, Jakarta: Bumi aksara, 2007.




[1] Jostein Gaarder, Shophie’s World, terj. Rahmani Astuti, Dunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat, (Bandung: Mizan Pustaka, 2006), hlm. 81.
[2] Yenne Bill 100 Pria Pengukir Sejarah Dunia, alih bahasa: Didik Djunaedi,. (Jakarta: Pustaka Delapratasa, 2002), hal. 32-33.
[3] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 46.
[4] Ahmad Syadali, Filsafat Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hlm. 65.
[5] Ahmad Syadali, Filsafat Umum,..hlm. 66.
[6] Ahmad Tafsir, FilsafatUmum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung: Remaja Rosdakarya,  2008), hlm. 57.
[7] Ioanes Rakhmat, Sokrates dalam Tetralogi Plato Sebuah Pengantar dan Terjemah Teks, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 137.
[8] Jostein Gaarder, Shophie’s World, terj. Rahmani Astuti, Dunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat,.. hlm. 83.
                    [9] The liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Liberty, 1999), hlm. 31.
                   [10] Ioanes Rakhmat, Sokrates dalam Tetralogi Plato Sebuah Pengantar dan Terjemah Teks,.. hlm. 19.
                    [11] The liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu,hlm. 31.            
[12] Ahmad Tafsir,  FilsafatUmum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra,… 54
[13] Jostein Gaarder, Shophie’s World, terj. Rahmani Astuti, Dunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat,… hlm. 83.
[14] Fuad Hasan, Apologi Pidato Pembelaan Socrates Yang Diabadikan Plato, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hlm. 36.
[15] Amsal Bakhtiar,  M.A, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 29.
[16] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik; Sejarah, Perkembangan dan Peranan Para Tokohnya, (Jakarta: Grafindo Persada, 1995), hlm. 19.
[17] Ahmad Tafsir, FilsafatUmum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra,…hlm. 56.
[18] Ahmad Tafsir, FilsafatUmum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra,…hlm. 56.
[19] Hamzah Uno B., Perencanaan Pembelajaran, (Jakarta: Bumi aksara, 2007), hlm. 30.
[20] Rahma Asa Harun, The Real of Socrates, terj. Peradilan Socrates Skandal Terbesar dalam Demokrasi Athena, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991), hlm. 3.
[21] Rahma Asa Harun, The Real of Socrates, terj. Peradilan Socrates Skandal Terbesar dalam Demokrasi Athena,hlm. 4.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar